Bahasa menunjukkan bangsa, kata ini dipahami betul oleh para
sarjana sunda. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, dikalangan
Sarjana Sunda
yang dianggap
cukup berpengaruh bukan hanya bahasa dan etnisitas, tapi juga budaya.
Dengan demikian, bahasa adalah representasi, cerminan suatu kebudayaan;
dan menentukan serta mendukung etnisitas. Bahasa dianggap sebagai
pengusung terpenting
dari suatu Budaya.
Bahasa Sunda resmi diakui sebagai bahasa
yang mandiri mulai
pada tahun 1841, ditandai dengan diterbitkannya kamus bahasa Sunda
yang pertama
(Kamus bahasa Belanda-Melayu dan Sunda). Kamus tersebut diterbitkan di
Amsterdam, disusun oleh Roorda, seorang Sarjana bahasa Timur.
Tidak diketahui pasti kapan bahasa sunda lahir, tetapi
dari bukti tertulis
yang merupakan keterangan ter
tua, berbentuk prasasti berasal
dari abad ke-14.
Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis
pada batu alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat
pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397-1475).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar
nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu
mahayuna kada
tuan
Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu
pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana” (inilah
peninggalan mulia, sungguh peninggalan
Eyang Prabu Adipati Wastukentjana yang bertakhta di Kota Kawali,
yang memperindah keraton Surawisesa,
yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota,
yang menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada
yang datang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum
masa itu. Mungkin sekali Bahasa Kw’un Lun
yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10
pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak dijumpai
lebih luas dalam bentuk naskah,
yang ditulis
pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah)
yang berasal
dari zaman abad ke-15 sampai dengan 180. Karena
lebih mudah cara menulisnya, maka naskah
lebih panjang
dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya
lebih banyak dan struktur bahasanya pun
lebih jelas.
Contoh bahasa Sunda
yang ditulis
pada naskah adalah sebagai berikut:
- Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa
Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak
tamba hanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun
maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk,
minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
- Berbentuk puisi pada Kropak
408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman,
pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa
sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah
Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya
penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang
siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda
pada masa itu banyak dimasuki kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta
dari India.
Setelah masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan
menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad
ke-16. Hal ini merupakan bukti ter
tua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah itu terdapat 4 kata
yang berasal
dari Bahasa
Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring
dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan
masyarakat Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam
perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi
sebagai kosakata pinjaman.
Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin
pada perbendaharaan
bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan
sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin
pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak
pada abad
ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti
Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno
yang ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sangh
yang Hayu.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat
Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan
abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini.
Pada masa itu
fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit
terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi
dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk
Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola
Bahasa Jawa
yang disebut Unggah Ungguh Basa.
Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi
social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap digunakan
sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda.
Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi
bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama
untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi
sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk
penulisan karya sastera.
Pada akhir
abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun
ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak dibukanya
sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.
Pada awalnya
kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda
dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912)
yang dibuat
oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke
dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa
komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga
merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan
sebagai bahasa persa
tuan dengan nama Bahasa Indonesia
pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan
dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena
pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa
Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda
yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda
yang tinggal
di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan
sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul pula di
kalangan orang Sunda
yang dengan
gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di
tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan
semakin banyaknya orang
dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain
yang menetap
di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan
sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis
bakal terus berlanjut.