Pada umumnya orang mengetahui bahwa bahasa lndonesia yang sekarang
berasal dari bahasa Melayu. Istilah bahasa Melayu sendiri mengacu pada
bahasa Melayu Riau, yaitu bahasa Melayu yang diajarkan di
sekolah-sekolah sebelum Perang Dunia II berkecamuk. Beberapa bahasa
daerah juga memberikan sumbangan kepada bahasa Indonesia, seperti bahasa
Jawa, Sunda, dan lain-lain. Bahkan, bahasa Indonesia juga mendapat
sumbangan dari bahasa Barat. Penerbitan buku di Leiden dengan judul
European Loan Words in Indonesian: A Checklist of Words of European
Origin in Bahasa Indonesia and Traditional Malay tahun 1983 mengingatkan
tentang sumbangan bahasa-bahasa Barat kepada bahasa Indonesia. “Apa
sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap bahasa Indonesia? Akankah semua
kata yang berada dalam kamus Melayu dimasukkan ke dalam bahasa
Indonesia? Bagaimana dengan tata bahasanya?” Penulis memperkirakan hal
ini sama dengan berbagai buku tentang gramatika bahasa Melayu yang juga
dapat dianggap membicarakan bahasa Indonesia. Kalau demikian jalan
pikiran kita, maka kita hanya mengganti nama saja, yaitu dari bahasa
Melayu menjadi bahasa Indonesia. Akan tetapi, cara seperti ini tentunya
bukan satu-satunya jalan untuk melihat persoalan (Anwar, 1980: 24–27).
2. Masalah Nama Selain
diperingati sebagai bulan Sumpah Pemuda, bulan Oktober juga diingat
sebagai bulan pengukuhan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. “Apakah
sesudah peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928 kita sudah benar-benar
mempunyai bahasa Indonesia, atau lebih tepat lagi menanamkan bahasa
Melayu sebagai bahasa Indonesia? Ataukah pada waktu itu orang Indonesia
menganggap bahwa bahasa Melayu Riau sama dengan bahasa Indonesia?”
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada kesepakatan bulat di antara
golongan nasionalis Indonesia pada waktu itu tentang hal tersebut.
Banyak orang yang menginginkan kemerdekaan Indonesia, namun tidak setuju
bahasa Melayu disebut bahasa Indonesia. Penulis sudah pernah membahas
masalah ini di buku lain (Anwar, 1980: 24–27). Barangkali alasan yang
paling kuat mengenai status bahasa Indonesia ialah sejak didirikannya
Republik Indonesia, sebab dalam Undang Undang Dasar 1945 disebutkan nama
bahasa Indonesia. Namun, pernyataan ini tentu hanya dari sisi dasar
hukumnya.
Pembahasan ini sebaiknya juga menyinggung sedikit
tentang bahasa Melayu Riau. “Apakah penggunaan istilah bahasa Melayu
Riau sudah benar?” Penulis berpendapat bahwa adanya istilah itu bukan
karena berbagai dialek yang digunakan sehari-hari oleh penduduk yang
terdapat di daerah Riau, namun karena telah berkembangnya suatu ragam
bahasa baku di Kesultanan Riau masa lampau yang dipergunakan sebagai
alat komunikasi resmi atau formal. Ragam bahasa formal ini tidak hanya
terdapat di daerah Riau saja, tetapi juga di daerah lain, seperti Aceh,
Palembang, beberapa daerah di Kalimantan dan Halmahera. Dengan kata
lain, ragam bahasa formal itu terdapat di seluruh dunia Melayu. Untuk
membicarakan perkembangan bahasa Melayu, analisis dunia Melayu sangat
penting. Penulis teringat pada usaha Dr. Russell Jones di London untuk
mencarikan suatu istilah dalam bahasa Inggris sebagai pengganti “the
Malay World”.
Apabila secara ketat kita hendak membatasi bahasa
Melayu di Riau saja, penulis kira kurang tepat, walaupun di masa lampau
istilah bahasa Melayu Riau sering digunakan. Kalau penulis tidak salah
tafsir, implikasi dari istilah bahasa Melayu Riau itu ialah bahasa
Melayu tinggi, bahasa Melayu formal, dan bahasa Melayu baku. Penulis
memperkirakan hal ini ada hubungannya dengan pendidikan di Sekolah Raja
di Bukittinggi. Bahasa Minangkabau juga merupakan bahasa Melayu, namun
berbeda dengan bahasa Melayu Riau, karena posisi bahasa Melayu Riau;
sebagai bahasa Melayu tinggi tadi. Guru-guru di Minangkabau di masa
lampau sering menggunakan istilah bahasa Melayu Riau; sebuah istilah
yang mereka peroleh dari guru-guru berbangsa Belanda.
Bila kita
mengikuti pemikiran beberapa sarjana Belanda, terlihat bahwa yang
dianggap bahasa Melayu baku ialah bahasa yang banyak dikembangkan oleh
guru-guru Melayu, terutama yang bertugas di Balai Pustaka. Profesor A.
Teeuw pernah menulis:
One can go further and say that it was
this very group of Minangkabau school teachers at Balai Pustaka who
made a significant contribution to the standardization of Malay which is
often called Balai Pustaka Malay; it is the basis from which
present-day Bahasa Indonesia is developed (Teeuw, t.t.: 119).Walaupun
Profesor Teeuw tidak menggunakan istilah bahasa Melayu Riau, namun yang
dimaksud dengan istilah bahasa Melayu Balai Pustaka itu pada dasarnya
adalah bahasa Melayu Riau dalam pengertian kita di atas. Sarjana Belanda
lain, Profesor G. W. J. Drewes, yang pernah bertugas di Balai Pustaka
juga menekankan pentingnya Balai Pustaka dalam hubungannya dengan
pembakuan bahasa. Menurut Drewes, bahasa manuskrip yang dikirimkan oleh
Balai Pustaka sering diperbaiki oleh Engku-engku Balai Pustaka dan para
pengarang. Pengirim hendaknya tidak merasa tersinggung, bahkan harus
berterima kasih atas perbaikan-perbaikan itu (Drewes, 1981: 102–103).
Bila
kita sepakat bahwa bahasa Melayu Balai Pustaka kemudian berubah nama
menjadi bahasa Indonesia, maka sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap
perkembangan bahasa Indonesia adalah luar biasa besarnya. Bahkan,
barangkali tidak tepat kalau kita sebut hanya dengan istilah sumbangan.
Bagi bahasa Indonesia, bahasa Melayu lebih dari sekadar sumbangan. Ia
merupakan pelimpahan yang berwujud bahasa Indonesia modern. Penulis
berpendapat bahwa bahasa Indonesia tidak harus dilihat hanya sebagai
kelanjutan dari bahasa Melayu Balai Pustaka atau bahasa Melayu Riau.
Dengan pendapat semacam ini, orang akan dapat mengemukakan argumentasi,
bahwa ragam bahasa Melayu lain juga merupakan unsur penting dalam
menunjang terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa modern. Bisa saja
kemudian dikatakan, bahwa bahasa Melayu Riau bukan merupakan pendorong,
melainkan malah menjadi penghambat tumbuhnya bahasa Indonesia.
Pada
kasus tersebut, penulis teringat pada perdebatan antara Profesor Drewes
dengan Dr. C. W. Watson (Watson, 1971: 417–433). Perdebatan itu tidak
langsung berkait dengan bahasa Indonesia, melainkan tentang sastra
Indonesia. Namun, implikasinya juga menyangkut bidang bahasa. Profesor
Drewes menganggap Dr. Watson kurang menekankan pentingnya peran Balai
Pustaka, dan mengingatkan jasa-jasa penulis pada masa pra-Balai Pustaka,
di antaranya penulis-penulis Tionghoa. Memang tidak dapat disangkal
bahwa tulisan-tulisan yang terdapat di berbagai surat kabar menggunakan
bahasa Melayu rendah. Dengan demikian, bahasa Melayu Riau dianggap tidak
memainkan peran dalam mendorong terbentuknya bahasa Indonesia modern.
Bahasa
Melayu Riau pada awalnya tentu lebih banyak digunakan sebagai alat
komunikasi dalam membicarakan hal-hal yang lebih bersifat tradisional,
sedangkan bahasa Melayu rendah di surat-surat kabar sering membahas
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan modern, seperti ekonomi,
politik, pendidikan, dan lain-lain. Dengan sendirinya, bahasa Melayu
rendah merupakan alat modernisasi. Akan tetapi, bagaimana dengan bahasa
Melayu Riau yang dipakai di sekolah-sekolah? Bahasa ini tentu sedikit
banyak dipakai pula untuk membicarakan hal-hal yang ada hubungannya
dengan zaman modern.
Spekulasi yang cukup menarik ialah
bagaimanakah bentuknya andaikan bahasa Melayu (Riau) tidak ada atau
tidak dijadikan basis pembentukan bahasa Indonesia? Apakah bahasa Melayu
rendah akan menjadi bahasa Indonesia? Apakah bangsa Indonesia mau
menerima “bahasa rendahan” itu menjadi bahasa nasional? Seperti
diketahui, dunia mengenal lahirnya bahasa nasional yang berasal dari
bahasa rendahan atau creole.
3. Respektabilitas Pengalaman
di beberapa negara berkembang, terutama negara-negara baru yang
mempunyai masyarakat yang sudah tua, pemilihan bahasa resmi atau bahasa
nasional sering terkait dengan soal tradisi besar. Banyak orang
berpendapat bahwa bahasa yang mempunyai martabat adalah bahasa yang
mempunyai tradisi besar, yaitu bahasa yang di masa lampau sudah dipakai
sebagai kendaraan budaya tinggi, baik dalam bentuk sastra maupun dalam
bentuk pemikiran atau keilmuan pada umumnya. Sebaliknya, dalam alam
modern yang amat diperlukan adalah efisiensi, kepersisan, dan
perbendaharaan kata yang cukup untuk mengungkapkan peradaban modern.
Antara
tradisi besar dan tuntutan dunia modern tidak selalu terdapat kaitan
yang erat. Ada bahasa modern yang efisien dan dapat memenuhi tuntutan
kehidupan modern, tetapi ada pula yang tidak. Bila yang terjadi adalah
keadaan yang terakhir, maka terjadilah hal-hal yang menarik dalam
pembinaan bahasa. Adakalanya pengaruh tradisi besar itu sangat dominan
pada suatu budaya sehingga orang rela mengorbankan efisiensi demi untuk
melestarikan tradisi besar itu. Namun, ada pula budaya yang tidak
segan-segan mengorbankan kebanggaan akan tradisi besar demi untuk
mencapai suatu efisiensi di bidang bahasa. Contoh yang terbaik dari
pengorbanan kebanggaan akan tradisi besar adalah bahasa Jepang,
sedangkan contoh yang berlawanan dapat ditemukan di beberapa negara,
seperti India dan beberapa negara Arab. Untuk kasus Indonesia, bahasa
Jawa mungkin cenderung dapat digolongkan pada contoh terakhir.
Bagaimana
dengan bahasa Melayu? Apakah bahasa Melayu dapat dikatakan mempunyai
tradisi besar? Secara relatif, penulis berpendapat bahwa bahasa Melayu
dapat dikatakan memiliki tradisi besar dalam konteks Nusantara. Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa di Nusantara ini terdapat dua tradisi
besar, yaitu bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Dari segi umur dan ukuran,
martabat tradisi Jawa terlihat lebih besar daripada martabat tradisi
Melayu. Namun, dalam memenuhi tuntutan adaptasi terhadap dunia modern,
bahasa Melayu rasanya lebih unggul. Dalam hubungan ini, Profesor Marcel
Bonneff mengemukakan sebuah tulisan yang sangat menarik tentang
persoalan yang dihadapi oleh bahasa Jawa pada masa-masa sebelum
diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia (Bonneff, 1981:
35–53).
Menurut Bonnef, bahasa Melayu ternyata dapat memenuhi
tuntutan masyarakat Indonesia untuk mempunyai sebuah bahasa yang
mempunyai latar belakang yang cukup bermartabat. Dengan Selat Malaka
sebagai pusat, bahasa Melayu pernah jaya di zaman kejayaan orang Melayu,
terutama di zaman Malaka. Di samping itu, kejayaan Kerajaan Aceh,
Kerajaan Palembang, dan lain-lain telah meninggalkan sekumpulan
manuskrip Melayu yang menyebabkan bahasa ini menjadi bahasa tertulis
yang relatif mempunyai semacam kebakuan. Tanpa peninggalan manuskrip
itu, bahasa Melayu (Riau) tidak akan banyak artinya. Bahasa Melayu
memperoleh semacam respektabilitas berkat dipakainya bahasa tersebut
untuk keperluan perdagangan, pemerintahan, dan keilmuan di masa lampau.
Inilah sumbangan yang cukup besar dari bahasa Melayu (Riau) kepada
perkembangan bahasa Indonesia di kemudian hari. Bahasa Melayu dengan
tradisi besar dapat memberikan kebanggaan kepada para pemakainya, bahwa
bahasa itu adalah suatu bahasa peradaban dan kebudayaan, bukan hanya
dialek-dialek yang berserakan yang digunakan oleh kelompok-kelompok
penduduk yang terbelakang. Bahasa Melayu tidak berkembang dari suatu
pidgin dan creole akibat kedatangan bangsa Barat ke Nusantara.
Bahasa
Melayu yang telah menjelma menjadi bahasa Indonesia telah menempatkan
dirinya dalam suatu posisi khusus di tanah air tercinta ini.
Kebesarannya memang tidak akan dapat diukur secara kuantitatif dan sisi
kepuasan, namun umumnya orang Indonesia dapat merasakannya. Penulis
berpendapat bahwa orang yang dapat merasakan semua itu tentulah orang
yang menganggap bahasa Melayu adalah miliknya. Berbahagialah semua orang
Melayu yang mencintai bahasa nenek moyangnya dan berbahagialah seluruh
bangsa Indonesia yang sudah mempunyai bahasa Indonesia yang merupakan
sumbangan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu Riau.
4. Manfaat Praktis Walaupun
sumbangan bahasa Melayu dalam bentuk tuah dan martabat terhadap
perkembangan bahasa Indonesia cukup penting, namun bagi masyarakat
Indonesia secara keseluruhan hal tersebut tidak akan banyak artinya
sekiranya bahasa persatuan kita itu tidak memadai untuk dipakai sebagai
alat komunikasi modern. Sebenarnya, di sinilah letak kekuatan bahasa
Melayu yang dikembangkan itu, yaitu ia dapat memenuhi kebutuhan kita
akan bahasa modern itu. Bahasa Melayu amat mudah menyesuaikan diri
dengan perubahan dan kemajuan zaman. Bahasa Melayu tidak merasa janggal
menerima pengaruh, baik dalam kosakata maupun pada gramatikalnya, bahkan
dalam sistem bunyinya sekalipun. Sebab utama adanya karakter ini tentu
ada hubungannya dengan sejarah bahasa Melayu dan sejarah orang Melayu.
Pada
masa lampau, kesultanan yang berkembang di daerah Riau dan Selat Malaka
pernah menjadi pusat pertemuan bangsa. Dalam suasana internasional
inilah bahasa Melayu berkembang dan menempuh proses pembakuan. Pengaruh
bahasa Arab yang merupakan kendaraan pikiran-pikiran baru diserap dengan
cepat oleh bahasa Melayu, sebagaimana sebelumnya bahasa Melayu juga
sudah menyerap unsur-unsur bahasa Sanskerta. Dalam hubungan ini dapat
dikatakan bahwa bahasa Melayu merupakan alat penerimaan dan pengembangan
pikiran-pikiran baru. Bahasa Melayu adalah alat modernisasi di
zamannya.
Kedatangan bangsa Barat ke Nusantara ini antara lain
juga telah membawa pikiran-pikiran baru. Secara bertahap, pemikiran baru
ini telah diserap oleh bahasa Melayu. Setelah pendidikan modern
diperkenalkan pada pertengahan abad ke-19, bahasa Melayu dengan sifatnya
yang sangat terbuka itu dengan cepat dapat memainkan peran. Kata-kata
dari bahasa Barat dan beberapa bunyi serta sistem penyampaian buah
pikiran Barat pun mulai memasuki bahasa Melayu. Pada umumnya,
bahasa-bahasa daerah lain tidak dapat menyerap pengaruh asing itu
semudah bahasa Melayu.
Walaupun pada masa lampau kaum terpelajar
Indonesia memperoleh ilmu pengetahuan melalui bahasa Belanda, pada
sebagian besar rakyat kita pengenalan ide-ide baru tidak ditangkap
melalui bahasa Belanda, melainkan melalui bahasa Melayu. Di masa
transisi dan kehidupan tradisional yang akan memasuki kehidupan dunia
modern, bahasa Melayu sering diasosiasikan orang dengan kehidupan yang
non-tradisional. Bagi orang Minangkabau misalnya, pemakaian bahasa
Melayu Riau jelas dikaitkan dengan gaya hidup yang tidak tradisional.
Bahasa Melayu Riau dianggap sebagai bahasa tinggi, bahasa kantor, bahasa
sekolah, dan bahasa pemerintahan modern.
Oleh karena
karakteristik yang mudah menyesuaikan diri itu, bahasa Melayu cepat
menunjukkan keunggulannya dalam menghadapi tuntutan modern dibandingkan
dengan bahasa-bahasa daerah lain. Dalam hubungan ini tak dapat dilupakan
pula peran yang dimainkan oleh bahasa Melayu rendah atau bahasa koran.
Kegunaan praktis bahasa Melayu segera terbukti bahwa bahasa Melayu amat
mudah dipelajari, baik oleh orang Indonesia maupun oleh orang asing.
Dengan kata lain, mudah dipelajari untuk diambil manfaat akan
kegunaannya yang praktis.
Bila kita mempelajari bahasa secara
ilmiah, semua bahasa tentu mempunyai kesulitan-kesulitan tertentu. Di
zaman transisi, masyarakat Indonesia cenderung melihat cara hidup baru
seperti yang ditiru dari orang Eropa sebagai sesuatu yang hebat. Ini
membawa akibat bahwa penggunaan bahasa Melayu yang sudah mulai menjadi
bahasa modern dapat meninggikan gengsi para pemakainya, di samping
memberi alat komunikasi yang relatif lebih efisien. Jadi, sumbangan
bahasa Melayu Riau di bidang efisiensi bahasa juga cukup besar. Dalam
hal ini, yang berjasa tentu adalah gaya bahasa Melayu baru, bukan bahasa
Melayu klasik. Bahasa Melayu baru inilah yang besar sumbangannya
terhadap pembentukan dan perkembangan bahasa Indonesia.
Sebenarnya,
kita dapat menunjukkan kapan bahasa Melayu modern itu identik dengan
bahasa Indonesia. Andaikan tanggal 28 Oktober 1928 kita ambil sebagai
hari lahirnya bahasa Indonesia, maka pada tanggal itulah bahasa Melayu
identik dengan bahasa Indonesia. Pada hari itu, kita tentu tidak tepat
untuk menganggap bahwa bahasa Melayu memberi sumbangan terhadap bahasa
Indonesia, sebab antara yang menyumbang dengan yang menerima sumbangan
adalah sama. Pada hari itu, tidak timbul persoalan apakah bahasa
Indonesia itu berasal atau berkembang dari bahasa Melayu, karena alasan
yang telah disebutkan sebelumnya. Sumbangan dari bahasa daerah lain
kepada bahasa Indonesia sebelum tanggal tersebut tidak ada sama sekali.
Kondisi yang ada hanyalah kata-kata dari bahasa daerah lain yang sudah
masuk ke dalam bahasa Melayu, yang sudah dianggap bagian bahasa Melayu.
Sumbangan bahasa-bahasa daerah lain ke dalam bahasa Indonesia baru
terjadi setelah bahasa Indonesia lahir secara resmi.
Kita sudah
menganalisis bahwa sewaktu lahir, bahasa Indonesia sudah merupakan
bahasa yang bermartabat dan mempunyai sifat-sifat sebuah bahasa yang
tidak tradisional lagi. Pada waktu itu, bahasa Melayu Riau sudah
merupakan bahasa yang mempunyai syarat-syarat yang diperlukan bagi suatu
bahasa yang akan digunakan oleh suatu bangsa terhormat. Bahasa Melayu
(Riau) yang sudah siap untuk menukar nama menjadi bahasa Indonesia tidak
lahir dalam satu hari. Pertumbuhan dan pembinaan telah berlangsung
sejak beberapa waktu dan untuk semua itu telah banyak orang yang ikut
menyumbang. Mereka ini tidak terbatas pada orang Melayu saja.
Penulis-penulis dari Jawa, Sunda, Bali, Sulawesi, dan lain-lain ikut
secara aktif menyumbangkan hasil karya mereka dalam pembinaan bahasa
Melayu modern tersebut. Kenyataan ini penulis lihat sebagai satu faktor
penting yang telah mempermudah perubahan nama dari bahasa Melayu menjadi
bahasa Indonesia.
5. Ragam Melayu Modern Orang
Melayu yang cukup banyak berpartisipasi dalam pembentukan bahasa Melayu
baku modern adalah orang Melayu Minangkabau (Anwar, 1976: 91–93). Dari
sisi pembentukan bahasa, hal ini cukup menarik, karena bahasa Melayu
Minangkabau berbeda dengan bahasa Melayu Riau. Di samping adanya
perbedaan, persamaan yang dimiliki keduanya juga banyak. Dalam
membicarakan bahasa komunikasi, kita mengenal antara lain masalah
interferensi. Bila kita pelajari karya tulis orang Minangkabau yang
terbit sebelum Perang Dunia II, maka interferensi bahasa ibunya kentara
sekali. Hal ini sangat berbeda dengan karya tulis dari suku lain. Para
penulis yang berasal dari Jawa yang menulis dalam bahasa Melayu Riau
misalnya, tidak memperlihatkan interferensi yang mencolok dari bahasa
ibunya. Interferensi itu jelas terlihat apabila mereka tidak menulis
dalam bahasa Melayu Riau baku, melainkan dalam bahasa Melayu koran.
Misalnya dalam surat kabar Hindia Dipa yang terbit di Surabaya atau
beberapa penerbitan lainnya di Pulau Jawa.
Ragam bahasa Melayu
(Riau) yang dijadikan bahasa baku sebenarnya lebih banyak merupakan
sebuah ragam baru bahasa Minangkabau. Dalam hal ini, bahasa Melayu Riau
telah mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap bahasa Minangkabau.
Orang-orang Minang yang menulis dalam bahasa Melayu Riau telah
melahirkan suatu ragam bahasa Melayu yang pada masa itu dianggap sesuatu
yang baku. Oleh karena Engku-engku ini mempunyai kedudukan penting di
Balai Pustaka atau sebagai guru di sekolah, maka ragam bahasa yang
mereka hasilkan dianggap cukup penting. Kita tidak dapat melupakan bahwa
banyak juga dari mereka yang mempunyai keahlian yang tinggi dalam
penggunaan bahasa. Hal ini tentu antara lain karena mereka mendapat
pendidikan modern yang baik.
Akan tetapi, sebabnya tentu bukan
hanya itu saja. Para penulis Belanda yang melahirkan karya tulis yang
baik dalam bahasa Melayu ternyata tidak terlalu banyak, walaupun mereka
sangat ahli di bidang studi bahasa Melayu. Hal ini tidak mengherankan
sedikit pun, sebab hasil kajian mereka biasanya dituliskan dalam bahasa
Belanda yang baik, bukan dalam bahasa Melayu. Sebaliknya, seorang
penulis Minang yang menguasai bahasa Belanda juga cenderung memiliki
kemampuan yang baik dalam penguasaan bahasa Melayu. Namun, tidak sedikit
pula penulis itu yang mungkin kurang menguasai bahasa Belanda, walau
penguasaan bahasa Melayunya cukup bagus. Bagaimanapun juga, para penulis
dan guru-guru yang berasal dari daerah Minangkabau telah melahirkan
suatu ragam bahasa Melayu Riau yang dijadikan bahasa baku bagi bahasa
Melayu di masa-masa sebelum Perang Dunia II. Orang Belanda menamakan
ragam bahasa Melayu itu sebagai bahasa Melayu Balai Pustaka.
Dalam
bidang pendidikan, ragam bahasa Melayu Balai Pustaka ini memainkan
peran penting. Oleh karena penggunaan bahasa semacam ini sangat
koservatif, maka untuk keperluan pembahasan soal-soal budaya, ekonomi,
politik, dan lain-lain, bahasa Melayu juga cepat berkembang dalam ragam
yang agak berbeda. Pelopor tulisan-tulisan seperti ini adalah kaum
terpelajar Indonesia yang kebanyakan berasal dari dunia Melayu. Mereka
tetap berorientasi pada bahasa Melayu Riau, walaupun untuk keperluan
gaya bahasa dan efektivitas isi, mereka juga mengadopsi bahasa-bahasa
Barat, terutama bahasa Belanda. Sangat jarang terlihat penggunaan
kata-kata atau cara berbahasa yang kurang cocok dengan jiwa dan semangat
bahasa Melayu atau bahasa Minangkabau di dalam bahasa yang mereka
gunakan.
Dalam hal ini, pengertian bahasa Melayu Riau sebaiknya
jangan dipahami terlalu ketat dan juga jangan terlalu menyempitkan
konsep Melayu, terutama bila membicarakan persoalan bahasa. Kenyataan
bahwa bahasa Melayu yang telah menjadi bahasa Indonesia itu sebenarnya
tidak langsung menjadi bahasa Indonesia adalah salah satu alasannya.
Artinya, bahasa Melayu tradisional tidak langsung berubah menjadi bahasa
Indonesia modern. Perubahan itu melalui satu bentuk transisi, yaitu
satu bentuk ragam bahasa Melayu yang dihasilkan oleh para penulis yang
berasal dari seluruh daerah di Indonesia, tetapi model bahasanya
didominasi oleh pengaruh bahasa Minangkabau. Pengaruh ini boleh saja
dianggap menguntungkan atau tidak menguntungkan, tetapi itulah
kenyataannya.
Menurut pengamatan penulis, pengaruh itu ada yang
positif, ada pula yang negatif. Pengaruh positif antara lain tercermin
dari sumber pikiran jernih yang diperlihatkan oleh ragam bahasa itu.
Sementara pengaruh negatif muncul dari alur dan kepatutan pikiran yang
kacau, tidak tahan dengan analisis yang tajam, dan yang tidak pantas
dinyatakan dengan gaya dan ragam bahasa. Perbedaan pendapat tentang hal
ini tentu wajar. Kejernihan pikiran, clear thinking, itulah tampaknya
merupakan faktor yang sangat dipentingkan oleh para penulis masa itu.
Menurut penulis, faktor kejernihan pikiran ini merupakan sumbangan
bahasa Melayu yang besar terhadap pembentukan bahasa Indonesia di
kemudian hari. Apabila kemudian faktor ini terlihat kurang mendominasi
kehidupan bahasa Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa sumbangan bahasa
Melayu terhadap perkembangan bahasa kita sudah merosot.
Orang
Melayu pada umumnya suka berdebat dan bertanding dalam penggunaan
bahasa. Budaya Melayu secara keseluruhan menekankan pentingnya
kepandaian penggunaan bahasa dalam percaturan hidup bermasyarakat. Hal
inilah yang menyebabkan tumbuhnya kejernihan berpikir, sebab orang tidak
mau menjadi bahan tertawaan orang lain karena mengemukakan hal-hal yang
tidak didukung oleh argumentasi yang kuat. Argumentasi yang kuat
berasal dari kekuasaan yang diandalkan. Kekuasaan itu terletak dalam
penggunaan bahasa, bukan pada faktor eksternal, seperti pangkal lengan
(kekuatan). Bahasa Melayu tidak suka pada obskurantstyle.
Ragam
Melayu modern yang dihasilkan agak berbeda dengan ragam tradisional yang
berorientasi pada istana serta penghormatan kepada istana dan kerabat
raja. Peran terakhir ini memang cocok bagi orang yang berbahasa
Minangkabau dengan latar belakang budaya yang tidak berorientasi pada
istana. Seandainya bahasa Melayu tidak diubah menjadi suatu bahasa yang
merakyat, maka pergerakan nasional akan sulit menerimanya sebagai bahasa
persatuan. Hal ini cukup menarik karena bahasa yang pada mulanya agak
berorientasi feodal itu dapat berubah menjadi bahasa rakyat yang
bersifat demokratis.
Semua pergerakan nasional utama Indonesia
mempunyai orientasi yang demokratis. Golongan nasionalis kita dari
segala aliran bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
merdeka dan demokratis. Oleh karena itu, mereka enggan menggunakan
bahasa yang dianggapnya kurang menunjukkan ciri-ciri demokrasi dalam
kata-kata dan tata-cara penggunaannya. Bahasa Melayu Riau modern
dianggap memenuhi syarat untuk dipakai sebagai alat komunikasi suatu
masyarakat merdeka yang demokratis. Kaum nasionalis Indonesia
mempraktikkan cara berdemokrasi dengan memupuk kemerdekaan untuk
menyatakan pendapat dan beradu argumentasi. Sebenarnya, pada lingkungan
yang sangat terbatas, penggunaan bahasa Belanda lebih memuaskan buat
kebanyakan mereka. Akan tetapi, untuk mencakup lingkungan yang lebih
luas, mereka memerlukan bahasa Melayu. Dengan demikian, sumbangan bahasa
Melayu dalam bidang perjuangan bangsa ini sangat besar nilainya.
6. Sumbangan Bahasa Melayu Dewasa Ini Dewasa
ini, bahasa Indonesia mendapat sumbangan yang terus-menerus dari
berbagai bahasa daerah di Indonesia. Sumbangan yang agak menonjol
terlihat datang dari Pulau Jawa. Kata-kata Sanskerta akhir-akhir ini
cukup banyak masuk ke dalam bahasa Indonesia. Adapun sumbangan yang
berasal dari bahasa Melayu pada umumnya terlihat semakin berkurang.
Bahasa Melayu seolah-olah seperti kehabisan darah untuk ikut memperkaya
perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Dalam bidang ketatabahasaan dan
berbagai ungkapan pun terlihat semakin menurunnya pengaruh bahasa Melayu
dalam bahasa Indonesia.
Sebab dari gejala tersebut tentu banyak.
Faktor percakapan keseharian misalnya. Dalam percakapan sehari-hari
orang Melayu sering menggunakan kata jering untuk menyatakan buah yang
mempunyai bau khusus yang disukai banyak orang Indonesia. Penulis
memperoleh semacam kesan bahwa bila berbicara dalam bahasa Indonesia,
orang Melayu terpelajar cenderung menggunakan kata jengkol dan merasa
lebih afdol (sesuai) dengan kata jengkol dibandingkan dengan kata
jering. Bila hal ini memang dapat dibuktikan, maka dapat diartikan bahwa
masalah jering versus jengkol ini adalah suatu sebab menurunnya
sumbangan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia. Orang Melayu
tampaknya merasa lebih afdol bila menggunakan kata yang berasal dari
Pulau Jawa. Barangkali salah satu sebab pendorong ke arah ini ialah
kenyataan bahwa jumlah orang Melayu yang cerdas dan belajar di perguruan
tinggi di Jawa cukup besar. Tak dapat dipungkiri kalau lingkungan
sosialnya sangat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Di sisi lain,
pengaruh kaum elit dalam pembentukan bahasa peradaban sangat besar.
Faktor
penting lain yang menyebabkan berkurangnya sumbangan bahasa Melayu ke
dalam bahasa Indonesia adalah faktor demografi dan faktor politik. Orang
Melayu bukan bagian terbesar dari penduduk Indonesia. Mereka juga tidak
dapat dikatakan sebagai pusat kekuasaan. Bahasa Melayu sekarang mungkin
semacam tahu diri, sehingga lebih suka mengikuti daripada diikuti.
Kalau dalam hal jering saja orang Melayu lebih menyukai jengkol, maka
dapat diduga betapa sikap bahasa Melayu sekarang tentang kata yang jauh
lebih penting daripada sekadar nama buah tersebut. Kata pengejawantahan,
ambeg paramarta, sandang pangan, dan banyak lagi yang lain mulai
terbiasa di telinga Melayu.
Pada masa lampau, bahasa Melayu
sangat keras mempertahankan kaidah dan ungkapan Melayu. Bahasa Melayu
mewajibkan para pemakainya untuk mematuhi aturan-aturan yang ketat itu.
Disiplin penggunaan bahasa amat dipentingkan. Hal ini merupakan
sumbangan dari bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia,
yaitu suatu sikap berbahasa yang sangat hati-hati. Kita mengetahui bahwa
apa yang dinamakan bahasa Melayu koran atau rendahan tidak atau kurang
mementingkan aspek ini. Masalah yang sangat berat dirasakan saat ini
ialah kaburnya rujukan.
Walaupun peran bahasa Melayu dalam
perkembangan bahasa Indonesia sekarang sudah menurun, masih banyak para
ahli bahasa yang tidak berkeinginan untuk membuang pola Melayu begitu
saja. Dalam usaha perluasan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan
benar, kita masih melihat orang memperhatikan tuntutan-tuntutan
kepatutan bahasa Melayu yang sudah dimodernisasi. Sumbangan yang
diberikan oleh bahasa Melayu tercermin dalam penggunaan bahasa yang
menghendaki kejernihan pikiran itu tadi. Bahasa Melayu lebih menekankan
kepada kejernihan jalan pikiran daripada gramatikal yang benar dalam
arti teknis yang ketat. Cobalah lihat ungkapanungkapan dan peribahasa
Melayu! Ungkapan dan peribahasa Melayu tidak selalu seragam. Penggunaan
bahasanya dari sudut teknis gramatikal agak bervariasi. Akan tetapi,
pikiran yang dikandungnya sangat jelas. Salah satu unsur keindahannya
terletak pada ketajaman ungkapan katanya, bukan terletak pada kekaburan
dan kegaibannya.
Akhirnya patut disebutkan di sini bahwa kita
semua mengetahui betapa eratnya hubungan antara bahasa dan budaya.
Sumbangan bahasa Melayu terhadap perkembangan bahasa Indonesia juga
merupakan sumbangan budaya, sumbangan alam, dan sumbangan cara berpikir.
Bahasa dan kebudayaan Indonesia akan terasa miskin sekiranya sumbangan
itu hanya datang dari bahasa dan budaya Melayu. Sebaliknya, jika bahasa
dan budaya Melayu tak mau menyumbang lagi, maka bahasa dan budaya
Indonesia akan kurang kaya.
7. Budaya Dan BahasaDalam
pembahasan tentang sumbangan bahasa Melayu terhadap bahasa Indonesia
perlu juga disinggung kaitan antara budaya dan bahasa Melayu serta
budaya dan bahasa Indonesia. Kita mengetahui banyak orang yang
menganggap bahwa antara budaya dan bahasa terdapat hubungan yang sangat
erat. Kita mengenal slogan yang berbunyi “bahasa menunjukkan bangsa”. Di
kalangan para ahli bahasa dikenal hipotesis Sapir dan Whorf yang
menyatakan bahwa budaya ditentukan oleh bahasa. Pendapat Sapir dan Whorf
ini sangat banyak kelemahannya sehingga jarang diterima orang secara
utuh. Pendapat orang awam atau slogan yang berbunyi “bahasa menunjukkan
bangsa” juga sulit dibuktikan secara menyakinkan. Terlalu banyak bahasa
di dunia ini yang boleh dikatakan terlepas dari induk kebudayaannya.
Bahasa Inggris di Amerika tidak dapat kita katakan menunjukkan
kebudayaan Inggris secara keseluruhan. Bahasa Arab, terutama di
masa-masa kejayaan Islam dulu, lebih merupakan hasil kebudayaan Islam
daripada kebudayaan Arab. Bahasa Arab banyak dikembangkan oleh
orang-orang yang bukan berasal dari bangsa Arab. Bahkan, orang Yahudi
dan Kristen pun mempunyai andil dalam perkembangan bahasa Arab.
Bila
kita menengok bahasa Melayu, maka hal yang hampir serupa juga terlihat.
Bahasa Melayu dikembangkan bukan hanya oleh orang Melayu. Kita dapat
menunjuk nama Nuruddin Arraniri yang tidak dibesarkan dalam budaya
Melayu dan bukan berasal dari orang Melayu. Setelah beberapa waktu tiba
di Aceh, Nuruddin Arraniri telah menulis karya besarnya dalam bahasa
Melayu. Abdullah Munsyi juga demikian. Demikian juga tokoh-tokoh
lainnya. Begitulah hakekat bahasa atau beberapa bahasa yang akhirnya
menjadi bahasa umum yang besar. Bahasa Inggris dikembangkan oleh
berbagai bangsa, seperti orang Scot, orang Wales, orang Irlandia, dan
lain-lain. Bahasa yang terlalu erat hubungannya dengan budaya tertentu
dan sulit untuk melepaskan diri dari budaya asalnya jarang yang diterima
orang sebagai bahasa umum.
Faktor yang melonggarkan kaitan
antara bahasa dan budaya dalam pengertian di atas sebenarnya juga
merupakan sumbangan bahasa Melayu terhadap bahasa Indonesia. Bahasa yang
terlalu erat kaitannya dengan budayanya sendiri kadang-kadang dapat
merupakan sesuatu yang mengungkung. Sebaliknya, bahasa yang tidak
terlalu erat hubungannya dengan budaya dapat menjadi alat untuk menuju
perluasan daerah pembebasan. Bahasa Melayu yang awalnya sangat erat
kaitannya dengan budaya Melayu secara berangsur-angsur berubah menjadi
bahasa yang agak netral budaya dan akhirnya menjelma menjadi bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia kemudian menjadi bahasa masyarakat Indonesia
yang mempunyai latar belakang budaya yang beraneka ragam.?