Sabtu, 10 Maret 2012

Cegah Korupsi Dengan Pendidikan


 Berantas Korupsi dengan pendidikan
Saat Sirakusa jatuh, tiada yang lebih menyedihkan bagi Marcellus selain rasa kehilangan Archimedes, yang tengah sibuk di ruang studinya tatkala kota itu ditaklukkan, sendirian, berusaha mencari pembuktian beberapa dalil Geometri yang telah ia susun, dan begitu sibuknya Archimedes sehingga tidak melihat apa-apa dan tidak mendengar apa-apa di luar ruangan, tidak menyadari bahwa pasukan-pasukan musuh sedang meremukkan kota. Ia tidak tahu bahwa kota telah berada di bawah kekuasaan baru. Dia bertanya-tanya mengapa datang seorang prajurit yang memintanya menghadap Marcellus. Bukannya segera menghadap Marcellus, karena ketidak tahuannya, Archimedes menyuruh prajurit itu menunggu sampai ia selesai melakukan percobaan dan menarik kesimpulan serta memperagakan hasilnya: mendengar jawaban itu, sang prajurid naik darah, menghunus pedang, dan membunuh Archimedes.
Inilah sepenggal esai, Plutarch (50 S.M. – 120 M), yang dapat menggambarkan perselisihan jalan antara pendidikan kita dengan kebutuhan bangsa dan masyarakat kita akan pendidikan antikorupsi. Walaupun sangat disadari bahwa persimpangan tersebut tidaklah terlalu jauh dan dapat diharapkan menemukan tidik temu antara keduanya.
Kompas, Kamis 10 Maret 2011, dalam hal terjadinya pembusukan Korupsi yang berakibat pada Kemiskinan, yang dibutuhkan adalah sistem pendidikan yang mendoronggerakan moral untuk restorasi cara berpikir dan bertindak serta bertarung keras untuk merawat Indonsia demi bonum commune.
Kasus korupsi yang telah lama menjerat negeri ini dan telah bermetamorfose menjadi jejaring korupsi, yang saling mengkait satu dengan yang lain dan membutuhkan waktu, tenaga untuk mengurainya terlebih menyelesaikannya, disampingpraktek tansaksional yang telah menjadikan kehidupan bernegara dan kebersama kita terpuruk. Disisi lain kebijakan public yang ada tidak menyetuh kehidupan warga, dan lebih bersifat procedural, menjadikan warga harus berjuang sendiri-sendiri untuk mempertahankan kehidupannya. Kesehatan, pendidikan, tingginya harga pangan, transportasi termasuk sarana jalan, sempitnya lapangan kerja yang tidak sebanding denganpertambahan jumlah penduduk produktif yang membutuhkan adalah pelbagai permasalahan yang terjadi dan lebih berimbas pada masyarakat menengah ke bawah. Belum lagi kondisi tersebut diperparah dengan menipisnya kesadaran atas rasa bineka tunggal ika yang menjadi pererat dan pemersatu kehidupan bernegara dan kehidupan bersama sebagai masyarakat yang majemuk.
Kembali pada pemikiran bahwa sistem pendidikan yang merestorasi cara berpikir anak didik merupakan gerakan moral yang mendesak dilakukan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik dimasa depan. Pendidikan anti korupsi yang perlu dikenalkan pada anak didik sejak usia dini melalui penanaman nilai-nilai kejujuran, kerja keras, kebersamaan, pluralism, open societyserta nilai-nilai lain yang mampu mendorong terbentuknya karakter yang diharapkan mampu berpikir dan bertindak dengan gigih guna mewujudkan kualitas hidup bersama yang menjujung tinggi martabat kehidupan.
Bila dibandingkan dengan ribut-ributmendorong terciptanya sekolah bertaraf internasional dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, bukankah lebih mendesak bila menjawab kebutuhan anak akan pendidikan melalui penyatuan nilai budaya lokal dengan nilai-nilai yang diakui oleh masyarakatinternasional melalui materi pelajaran yang diajarkan tanpa menisbikan salah satunya. Glokalisasi yang merupakan pertalian antara global-lokal (global-local nexus) yang biasa ditengarai pada bidang perekonomian, menurut penulis juga sangat tepat diterapkan dalam bidang pendidikan dewasa ini.
Tanpa bermaksud menutup mata terhadap banyaknya upaya yang telah dilakukan dunia pendidikan guna mendorong terwujudnya pendidikan anti korupsi ini, seperti halnya dengan kegiatan “warung kejujuran” yang telah kita temui pada beberapa sekolah baik yang bekerja sama dengan lembaga yang terkait (KPK) maupun yang berdasarkan pada inisiatif sekolah itu sendiri. Atau kegiatan warung yang dikelola siswa dengan supervisi dari pengajar, seperti yang penulis amati dilakukan di SD Kristen I Salatiga, dan juga koperasi sekolah yang dikelola siswa, merupakan laboratorium dimana siswa dapat mempraktekkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras dan nilai-nilai lainnya yang monopang pendidikan anti korupsi. Disamping itu,pemberian pemahaman tentang korupsi beserta implikasinya bagi kehidupan yang diikuti dengan diskusi mendalam yang disesuaikan dengan tingkatan pemahaman dan kemampuan anak didik untuk menyerap materi antikorupsi, perlu dilakuakn secara simultan. Hasil pendidikan ini akan memperbaiki wajah kehidupan kita dimasa depan dan sebenarnya itu tidak lama lagi.
Dengan demikian melalui pendidikan dapat menjawab permasalahan besar bangsa ini tentangkejujuran, kesederhanaan dan kerja keras yang semua itu dapat menjawab masalah besar negeri ini yaitu korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar