Senin, 12 Maret 2012

Korupsi dan Pembangunan Ekonomi


1. Satu pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana masalah korupsi ini jika dilihat dari perspektif keadialan ekonomi ekonomi? Dalam sudut pandang makro, maka korupsi ini umumnya lebih banyak berdampak negatif pada perekonomian. Namun demikian, dalam perspektif mikro, dalam arti dilihat dari sudut pandang pelaku-pelaku ekonomi yang membayarkan sogokan pada para pejabat yang korup tersebut, perbuatan korupsi itu mungkin saja justru dapat mempertinggi tingkat efisiensi dan mendukung usahanya. Ini berkaitan dengan berbagai keistimewaan yang diperoleh sebagai implikasi dari dana yang dikeluarkannya. Namun demikian, yang jelas, di kalangan sementara ekonom masih terdapat perdebatan tentang efek korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi ini.
2. Beberapa penulis berpendapat bahwa korupsi dapat saja meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini melalui dua tipe mekanisme (Mauro, 1995). Pertama, praktek korupsi yang dengan pemberian dana untuk mempercepat sesuatu urusan (speed money) sehingga memungkinkan pelaku ekonomi terhindar dari penundaan-penundaan urusannya. Sebagaimana diketahui, terhindar penundaan bagi aktivitas ekonomi berarti biaya, baik itu dari sisi peluang usaha yang mungkin lepas, ataupun biaya-biaya dari bunga, dan ongkos lainnya. Ini dapat mendukung pertumbuhan apabila negara tersebut aturan birokrasinya sangat buruk. Kedua, adanya korupsi ini dapat mendorong pegawai pemerintah untuk bekerja lebih keras. Mereka yang sebelumnya tidak terlalu bersemangat menyelesaikan urusan rutinnya menjadi terstimulasi untuk bekerja karena adanya insentif dari uang pelayanannya. Hal yang seperti ini dapat terjadi di negara manapun.
3. Namun demikian, dari banyak pendapat dan studi yang ada lebih cenderung berpandangan bahwa korupsi ini justru memperlambat atau menurunkan pertumbuhan ekonomi, di samping juga menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan pendapatan masyarakat. Temuan-temuan dari Murphy, Shleifer, dan Vishny (1991) menunjukkan bahwa negara-negara yang banyak aktivitas korupsi atau “rent seeking activities”-nya cenderung lambat pertumbuhan ekonominya. Pandangan ini lebih mudah dipahami, karena adanya korupsi berarti ada biaya lain-lain, atau akan mempersulit suatu aktivitas ekonomi, yang akibatnya bisa meninggikan biaya atau memperkecil minat untuk melakukan investasi sehingga mengganggu kelancaran pertumbuban ekonomi.
4. Dari penelitiannya di 58 negara, termasuk Indonesia, Mauro (1995) mempertegas pandangan yang menyatakan bahwa korupsi akan cenderung memperlambat pertumbuhan ekonomi. Mauro beranggapan, korupsi yang minimal akan melahirkan birokrasi yang efisien sehingga dapat mendukung peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek moral, politik, sosial, budaya, dan keamanan, maka memang adalah sulit untuk melegitimasi adanya suatu praktek korupsi. Karena bagaimanapun juga dampak negatif dari praktek korupsi ini jauh lebih banyak dibandingkan dampak positifnya, terutama bagi masyarakat.
5. Secara formal, upaya untuk menghapuskan korupsi (juga korupsi, nepotisme, dan kronisme) sudah cukup gencar dilakukan di tanah air, dan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan reformasi ekonomi yang sedang berlangsung. Adanya praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan kronisme atau koncoisme), telah menimbulkan adanya pengalokasian sumber daya menjadi tidak optimal, atau melahirkan ketidakefisienan dalam proses produksi. Keluaran (output) dari suatu proses produksi menjadi lebih kecil dari yang seharusnya terjadi jika tidak ada KKN. Dengan kata lain, biaya untuk memproduksikan barang dan jasa tidak mencerminkan prinsip least cost combination, atau kombinasi ongkos paling murah.
6. Pengalokasian proyek kepada satu perusahaan, tanpa suatu proses pelelangan yang fair, misalnya, dapat membuat perusahaan memaksakan anggaran yang dibuatnya untuk disetujui, walaupun itu bukanlah yang termurah. Demikian pula tender-tender yang hasilnya sudah diatur sebelumnya sudah merupakan rahasia umum bagi publik di tanah air. Demikian pula praktik kong-kalikongantara wajib pajak dan petugas pajak yang disinyalir menimbulkan kebocoran triliunan rupiah telah mengurangi anggaran yan seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan umum.
7. Memang adanya korupsi tidak otomatis membuat suatu perekonomian langsung ambruk dan tidak bisa berkembang. Sebagaimana yang terlihat di negarakita, perekonomian tetap sempat mengalami pertumbuhan tinggi di tengah badai korupsi tersebut. Namun perlu dicatat perkembangan pesat ini dibarengi dengan eksploitasi dan perusakan sumberdaya alam secara besar-besaran, serta membengkaknya utang luar negeri pemerintah dan swasta. Jadi, bukan karena meningkatnya produktivitas faktor total (TFP) yang mencerminkan adanya pembangunan ekonomi secar riil. Akibatnya, perekonomian kita sangat rentan, sebagaimana yang tercermin dari mudahnya krisis ekonomi memporakporandakan ekonomi nasional tahun 1997 lalu. Di samping itu, pertumbuhannya tidak optimal, bahkan lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga yang secara relatif memiliki sumber kekayaan alam yang lebih sedikit dibandingkan Indonesia.
8. Akibat lain tindak korupsi ini adalah terjadi ketidakmerataan yang tajam di antara pelaku-pelaku ekonomi, sebagai akibat ketidakadilan dalam perolehan fasilitas yang diberikan oleh birokrasi melalui praktek korupsi dan kolusi, ataupun nepotisme (KKN). Karenanya, sepanjang praktek KKN masih terjadi, maka upaya mengoptimalkan TFP tidak pernah akan terwujud, yang berarti perekonomian selalu dalam kondisi tidak efisien dan berdaya saing rendah.. Oleh karena itu, penghapusan prakltik-praktik KKN ini merupakan bagian integral dari reformasi ekonomi yang arahnya untuk meningkatkan produktivitas dari seluruh input yang digunakan dalam mendukung pembangunan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar