1.
Satu pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana
masalah korupsi ini jika dilihat dari perspektif keadialan ekonomi ekonomi?
Dalam sudut pandang makro, maka korupsi ini umumnya lebih banyak berdampak
negatif pada perekonomian. Namun demikian, dalam perspektif mikro, dalam arti
dilihat dari sudut pandang pelaku-pelaku ekonomi yang membayarkan sogokan pada
para pejabat yang korup tersebut, perbuatan korupsi itu mungkin saja justru
dapat mempertinggi tingkat efisiensi dan mendukung usahanya. Ini berkaitan
dengan berbagai keistimewaan yang diperoleh sebagai implikasi dari dana yang
dikeluarkannya. Namun demikian, yang jelas, di kalangan sementara ekonom masih terdapat
perdebatan tentang efek korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi ini.
2.
Beberapa penulis berpendapat bahwa korupsi dapat saja
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ini melalui dua tipe mekanisme (Mauro, 1995).
Pertama, praktek korupsi yang dengan
pemberian dana untuk mempercepat sesuatu urusan (speed money) sehingga memungkinkan pelaku ekonomi terhindar dari
penundaan-penundaan urusannya. Sebagaimana diketahui, terhindar penundaan bagi
aktivitas ekonomi berarti biaya, baik itu dari sisi peluang usaha yang mungkin
lepas, ataupun biaya-biaya dari bunga, dan ongkos lainnya. Ini dapat mendukung
pertumbuhan apabila negara tersebut aturan birokrasinya sangat buruk. Kedua, adanya korupsi ini dapat
mendorong pegawai pemerintah untuk bekerja lebih keras. Mereka yang sebelumnya
tidak terlalu bersemangat menyelesaikan urusan rutinnya menjadi terstimulasi
untuk bekerja karena adanya insentif dari uang pelayanannya. Hal yang seperti
ini dapat terjadi di negara manapun.
3.
Namun demikian, dari banyak pendapat dan studi yang ada lebih
cenderung berpandangan bahwa korupsi ini justru memperlambat atau menurunkan
pertumbuhan ekonomi, di samping juga menimbulkan ketidakadilan dan kesenjangan
pendapatan masyarakat. Temuan-temuan dari Murphy, Shleifer, dan Vishny (1991) menunjukkan bahwa negara-negara yang
banyak aktivitas korupsi atau “rent
seeking activities”-nya cenderung lambat pertumbuhan ekonominya. Pandangan
ini lebih mudah dipahami, karena adanya korupsi berarti ada biaya lain-lain,
atau akan mempersulit suatu aktivitas ekonomi, yang akibatnya bisa meninggikan
biaya atau memperkecil minat untuk melakukan investasi sehingga mengganggu
kelancaran pertumbuban ekonomi.
4.
Dari penelitiannya di 58 negara, termasuk Indonesia,
Mauro (1995) mempertegas pandangan yang menyatakan bahwa korupsi akan cenderung
memperlambat pertumbuhan ekonomi. Mauro beranggapan, korupsi yang minimal akan
melahirkan birokrasi yang efisien sehingga dapat mendukung peningkatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek moral,
politik, sosial, budaya, dan keamanan, maka memang adalah sulit untuk
melegitimasi adanya suatu praktek korupsi. Karena bagaimanapun juga dampak
negatif dari praktek korupsi ini jauh lebih banyak dibandingkan dampak positifnya,
terutama bagi masyarakat.
5.
Secara formal, upaya untuk menghapuskan korupsi (juga
korupsi, nepotisme, dan kronisme) sudah cukup gencar dilakukan di tanah air,
dan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan reformasi ekonomi yang
sedang berlangsung. Adanya praktek korupsi, kolusi, nepotisme dan kronisme atau
koncoisme), telah menimbulkan adanya pengalokasian sumber daya menjadi tidak
optimal, atau melahirkan ketidakefisienan dalam proses produksi. Keluaran
(output) dari suatu proses produksi menjadi lebih kecil dari yang seharusnya
terjadi jika tidak ada KKN. Dengan kata lain, biaya untuk memproduksikan barang
dan jasa tidak mencerminkan prinsip least
cost combination, atau kombinasi ongkos paling murah.
6.
Pengalokasian proyek kepada satu perusahaan, tanpa suatu
proses pelelangan yang fair, misalnya, dapat membuat perusahaan memaksakan
anggaran yang dibuatnya untuk disetujui, walaupun itu bukanlah yang termurah. Demikian
pula tender-tender yang hasilnya sudah diatur sebelumnya sudah merupakan
rahasia umum bagi publik di tanah air. Demikian pula praktik kong-kalikongantara wajib pajak dan
petugas pajak yang disinyalir menimbulkan kebocoran triliunan rupiah telah
mengurangi anggaran yan seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan umum.
7.
Memang adanya korupsi tidak otomatis membuat suatu
perekonomian langsung ambruk dan tidak bisa berkembang. Sebagaimana yang
terlihat di negarakita, perekonomian tetap sempat mengalami pertumbuhan tinggi
di tengah badai korupsi tersebut. Namun perlu dicatat perkembangan pesat ini
dibarengi dengan eksploitasi dan perusakan sumberdaya alam secara
besar-besaran, serta membengkaknya utang luar negeri pemerintah dan swasta.
Jadi, bukan karena meningkatnya produktivitas faktor total (TFP) yang
mencerminkan adanya pembangunan ekonomi secar riil. Akibatnya, perekonomian
kita sangat rentan, sebagaimana yang tercermin dari mudahnya krisis ekonomi
memporakporandakan ekonomi nasional tahun 1997 lalu. Di samping itu,
pertumbuhannya tidak optimal, bahkan lebih rendah dibandingkan negara-negara
tetangga yang secara relatif memiliki sumber kekayaan alam yang lebih sedikit
dibandingkan Indonesia.
8.
Akibat lain tindak korupsi ini adalah terjadi
ketidakmerataan yang tajam di antara pelaku-pelaku ekonomi, sebagai akibat
ketidakadilan dalam perolehan fasilitas yang diberikan oleh birokrasi melalui
praktek korupsi dan kolusi, ataupun nepotisme (KKN). Karenanya, sepanjang
praktek KKN masih terjadi, maka upaya mengoptimalkan TFP tidak pernah akan
terwujud, yang berarti perekonomian selalu dalam kondisi tidak efisien dan
berdaya saing rendah.. Oleh karena itu, penghapusan prakltik-praktik KKN ini
merupakan bagian integral dari reformasi ekonomi yang arahnya untuk
meningkatkan produktivitas dari seluruh input yang digunakan dalam mendukung
pembangunan nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar