Sabtu, 10 Maret 2012

Pejabat Hidup Mewah diatas Derita Rakyat

UNTUK tuk menghemat subsidi RAPBN 2012 , pemerintah mengusulkan kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) tahun depan sebesar 10 persen per 1 April 2012.

Meskipun ada penolakan dari berbagai pihak, karena menganggap akan memberatkan masyarakat dan industri, pemerintah tetap ngotot untuk menaikkannya. Kenaikan TDL pasti memberikan efek berkelanjutan berupa kenaikan harga sembako, pengangguran dan kemiskinan.

Sebagaimana diketahui. jika menggunakan standar BPS kategori miskin adalah seorang dengan penghasilan di bawah Rp 167.000,-/bulan/orang atau Rp 5.500,-/hari/orang. Dengan stadar BPS, angka kemiskinan saat ini hanya sekitar 13 persen atau sekitar 30 juta orang. Sedangkan standar World Bank, salah satu kriteria orang miskin di Indonesia adalah mereka yang berpenghasilan di bawah 2 dolar/Rp 18.936,- perhari (sekitar Rp 500 ribu/bulan),dengan kurs US$ 1 = Rp 9.468 (10/09/2011).

Jika menggunakan ukuran World Bank ini, angka kemiskinan di Indonesia bisa di atas 43 persen dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia; kira-kira mendekati 100 juta jiwa. Inilah fakta keseharian kehidupan rakyat yang amat menyedihkan.

Padahal masyarakat Indonesia hidup di sebuah negeri yang subur serta kaya dengan kandungan mineral dan sumber daya alam lainnya.
Kemiskinan yang diderita rakyat berbanding terbalik dengan besarnya alokasi APBN untuk kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah, baik untuk “pelesiran” keluar negeri, gaji dn tunjangangannya.

Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ Pemerintah pada 2011 membengkak : dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam realisasi APBN 2011.

Membengkaknya belanja perjalanan hampir terjadi setiap tahunya. Dalam APBN 2009, misalnya, alokasi belanja perjalanan ‘hanya’ Rp 2,9 triliun. Namun, dalam APBN-P 2009 melonjak menjadi Rp 12,7 triliun, bahkan dalam realisasinya membengkak menjadi Rp 15,2 triliun.

Lalu dalam APBN 2010, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, kemudian membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P.
Rakyat Menderita

Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa keuangan negara yang seharusnya dibelanjakan untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, justru banyak digunakan untuk fasilitas dan kepentingan birokrat, politisi dan Pemerintah.

Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011.

Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.

Belum lagi gelandangan, orang gila, pengemis dari umur belasan tahun sampai orang tua jompo, menyapa kita baik dengan mengamen, jual koran harian atau langsung minta belas kasihan pengguna jalan.

Di negeri ini, penerapan sistem ekonomi Kapitalisme-yang akhir-akhir ini makin mengarah pada liberalisme ekonomi-menjadi akar munculnya kemiskinan yang terus meningkat. Dalam sistem ekonomi liberal, Pemerintah tidak lagi memerankan fungsinya sebagai pemelihara urusan-urusan dan kebutuhan dasar rakyatnya.

Bahkan di tengah kemiskinan rakyat, Pemerintah sering mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang makin membebani rakyat. Mulai April lalu, misalnya, Pemerintah menaikkan harga pupuk urea isi 50 kilogram sebesar 50 persen, yakni dari Rp 60 ribu menjadi Rp 90 ribu.


Kenaikan ini muncul karena anggaran subsidi yang semula Rp 11,3 triliun dikurangi menjadi Rp 4,2 triliun. Padahal tahun 2009 lalu, besarnya subsidi pupuk mencapai Rp 17,6 triliun.

Pejabat Hidup Mewah
Presiden SBY mengajak warga masyarakat Indonesia agar tetap berhemat dalam menggunakan energi, baik energi listrik, gas, maupun minyak bumi serta energi lainnya. “Kita sama-sama lakukan hemat energi, jangan boros, dan sejak anak-anak harus sudah mulai berhemat energy, apapun bentuknya,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Tapi masyarakat juga tidak buta untuk melihat bagaimana penghematan di jajaran pemerintahan tak pernah terealisir. Masyarakat masih ingat bagaimana uang Rp 22.55 miliar untuk tahun anggaran tahun 2009 dihamburkan hanya untuk merenovasi pagar Istana. Dan beberapa kantor di Kementrian lampu biasanya masih menyala padahal matahari sudah meninggi, sebagaimana pernah ditayangkan media elektronik beberapa waktu yang lalu.
Dalam kurun waktu 2001-2011, Presiden SBY juga telah menghabiskan Rp 1,173 triliun untuk anggaran “plesiran”-nya ke luar negeri. Anggaran “jalan-jalan” Presiden SBY tahun 2011 saja dipatok sebesar Rp 181 miliar.

Pemerintah juga kembali mengajukan tambahan anggaran untuk remunerasi (kenaikan gaji pejabat) senilai Rp 3,3 triliun sehingga total menjadi Rp 13,9 triliun.

Padahal terbukti kenaikan gaji pejabat tidak mampu menghentikan kebiasaan korupsi yang bercokol di birokrasi. DPR tak mau ketinggalan dengan meloloskan proyek gedung megah yang nilainya Rp 1,8 triliun. Ini menunjukkan bahwa penguasa, baik kalangan eksekutif maupun legislatif, betul-betul telah hilang kepekaannya terhadap rakyat. Mereka lebih mementingkan diri sendiri daripada rakyatnya.

Padahal anggaran Rp 1,8 triliun ini bisa dimanfaatkan oleh 1,1 juta RTSM (Rumah Tangga Sangat Miskin) melalui program keluarga harapan, dibandingkan untuk gedung baru DPR yang hanya dinikmati 560 anggotanya.
Gaya hidup pejabat saat ini yang menampilkan kemewahan, dari mulai gaji yang tinggi hingga mobil dinas yang mahal, tidak bisa dilepaskan dari cara pandang mereka terhadap jabatan. Bagi mereka, jabatan identik dengan prestise, martabat, kehormatan, bahkan ladang penghasilan yang subur. Wajar jika mereka berebut untuk mendapatkan jabatan/kekuasaan.

Solusi Sistemik
Sikap pejabat tersebut berbeda dengan para khalifah (kepala negara Khilafah) dulu. Bagi para khalifah, jabatan adalah amanah. Karena itu, jabatan/kekuasaan benar-benar dimaksudkan untuk menunaikan apa yang menjadi hak rakyatnya. Bagi mereka, martabat dan kehormatan justru terletak pada ketakwaan, dan salah satu ukuran ketakwaan terletak pada sikap amanah dalam mengurus rakyat, bukan pada kemewahan.

Karena itu, masyarakat belum terlambat untuk segera menerapkan sistem (syariah) Islam sebagai wujud ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Hanya dengan ketakwaanlah Allah SWT menjamin keberkahan hidup bagi masyarakat secara keseluruhan baik muslim maupun non muslim.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar