Sabtu, 10 Maret 2012

Pembela HAM Berbasis Korban

Pembela HAM lebih merupakan bentuk peranan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, lapisan sosial manapun, dengan jenis profesi dan latar belakang beragam, seperti jurnalis, pekerja sosial, dokter, petani, aktifis buruh, pegawai swasta,dan sebagainya. Singkat kata, semua pihak berpotensi untuk menjadi seorang pembela HAM, meski ia tidak merasa memahami betul atau bahkan mengklaim dirinya sebagai pembela HAM.
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam konsep ini adalah seberapa jauh bentuk keyakinan mereka pada nilai dan norma HAM yang berlaku secara universal dan pola perjuangan yang akan mereka tempuh untuk merealisasikan keadilan yang dicita-citakan. Pembela HAM tidak dituntut untuk memiliki keahlian khusus untuk memperjuangkan bentuk keadilan. Tetap berpegang teguh pada nilai dan norma HAM serta mengedepankan jenis perjuangan melalui pendekatan damai adalah kata kunci utama untuk mengenal lebih jauh konsep ini.
Diantara sekian banyak tipe pembela HAM, terdapat sub kelompok pembela HAM yang unik, yaitu mereka yang pernah menjadi korban kekerasan atau pelanggaran HAM. Proses transformasi kesadaran menjadi kunci utama untuk membaca fenomena pembela HAM berbasis korban. Dulu, mereka adalah individu-individu atau kelompok yang mengalami penindasan. Seiring berjalannya waktu, mereka mengalami suatu bentuk transformasi kesadaran dengan tingkat kepekaan sosial yang kian terasah. Modal ini berperan penting untuk merubah karakter korban menjadi karakter pembela HAM. Perjuangan mereka tidak hanya sekedar dimotivasi oleh peristiwa pelanggaran HAM yang telah mereka alami, namun perjuangan itu dilandasi dengan semangat kebersamaan untuk ikut memperjuangkan nasib publik yang lebih luas.

Inisiatif penelitan yang digagas oleh Tim Peneliti Human Rights Support Facilities (HRSF) berusaha memotret faktor penentu transformasi korban menjadi pembela HAM, hambatan yang mereka jumpai dalam proses perjuangannya, hingga langkah-langkah apa yang bisa ditempuh untuk mendorong terobosan dalam menghadapi problematika yang dialami mereka. Penelitian yang mengetengahkan potret 10 orang pembela HAM berbasis korban juga tidak luput dari berbagai kendala proses yang harus dihadapi, seperti tingkat kesulitan untuk memetakan jenis proteksi apa yang mereka butuhkan terkait dengan proses advokasi yang mereka tempuh. Hambatan lain adalah ketiadaan narasi pembanding untuk melihat konsep pembela HAM berbasis korban di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar