Sabtu, 10 Maret 2012

Ternyata TUHAN itu ada

Peradaban Barat adalah problematik, karena dibangun berdasarkan ‘pengalaman’ kegagalan Bibel. Bagaimana tidak kondisi dan kegagalan Bibel mempertahankan argumen keotentikannya di tangan zaman, menjadi bukti utama bahwa Bibel memang bukan bersumber dari Tuhan. Friedrich Delitzsch misalnya, pendiri Assyriology, pakar perjanjian lama yg sangat kompeten berkata: "Perjanjian lama penuh dengan berbagai penipuan, benar-benar amburadul serta mengelirukan, tdk diterima akal sehat, figur-figur tokoh yg tak dapat dipercaya, termasuk kronologi bibical. Benar-benar demonstrasi kepalsuan yang serba simpang siur, kerja ulang yg menggelikan, revisi dan transposisi, campuran anakronisme, penjelasan yang saling kontradiktif dan cerita berjubel yg tiada akhir. Penemuan-penemuan tanpa bukti sejarah, legenda dan dongeng rakyat, yang secara singkat merupakan sebuah buku penuh kebohongan baik disengaja atau tidak, sebagian adalah penipuan sendiri, buku yang sangat berbahaya, dan siapa yg membaca harus siaga dgn sikap ekstra hati-hati". (Dalam John Bright, The Authority of the Old Testament, Abingdon Press, Nashville, 1967, hal. 65-66) 

Juga Richard Elliot Friedman (Lihat Richard Elliot Friedman, Who Wrote Bibel, New York, Parennial library, 1989), Th. C. Vriezen dalam Agama Israel kuno, Jakarta: Badan penerbit Kristen, 2001. Prof. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, dan masih sangat banyak ilmuwan Barat lainnya. Sehingga: "Di kalangan Kristen, hanya kelompok fundamentalis saja yang masih percaya bahwa Bibel adalah the word of God; dei Verbum" (Hans Kung, What is True Religion? Dalam Leonard Swidler (ed): Toward a Universal Theology of Religion (New York, Orbit Book, 1987, hal. 200-201) .Ditambah lagi zaman kegelapan yang dibawa oleh otoritas Gereja, yang mampu memunculkan trauma Barat terhadap agama Kristen.

Maka Barat terpaksa mengembangkan metode pencarian Tuhannya sendiri yang tak berdasar pada Bibel; sebuah metode filosofis! Namun sayang, disamping sulit, metode ini hanya memberikan kebenaran relatif, bahkan kegilaan, ada pula yang gagal total sehingga memilih menjadi ateis. Tokoh-tokoh Deisme yang mencari kebenaran (Tuhan) dengan akal antara lain: Newton, Spinoza, Bruno, Thomas Hobbes dan Richard Simon. Sedang tokoh ateis paling terkenal adalah Nietszche (1844-1900), yang secara heroik memproklamirkan kematian Tuhan lewat tamsil orang gilanya. Juga Karl Marx.

Lalu dimanakah Tuhan itu? Apakah Tuhan memang ada atau hanya proyeksi fikiran manusia semata sebagaimana yang dilontarkan pendiri mazhab positive logis Auguste Comte dan yang lainnya?

Bagi umat Islam Tuhan benar-benar nyata. Dzat-Nya tentu tak terindera, tapi aktivitas-Nya di dunia ini, itulah yang disebut mukjizat. Bukan hanya terlihat pada keseimbangan atau fenomena-fenomena alam, yang bagi sebagian orang --termasuk Barat-- debateble . Tapi pada Al-Qur’an. Ya, Al-Qur’an adalah aktivitas ke-Tuhanan yang paling nyata di dunia ini, karena ia otentik dan mampu membuktikan dirinya sebagai bersumber dari Tuhan (lewat mukjizat-mukjizatnya)


Sekedar sebagai contoh, Surah Al-Kahf: 25 menyebutkan: “Mereka tinggal dalam gua mereka selama 300 tahun dan ditambah 9.” Pernambahan 9 tahun ini adalah akibat dari perbedaan sistem penanggalan syamsiah dengan Qamariyah. Dimana penanggalan Qamariyah lebih sedikit 11 hari dari Syamsiah. Dengan demikian penambahan 9 tahun dalam ayat tersebut merupakan perkalian 300 tahun x 11 hari =3300 hari atau sekitar sembilan tahun lamanya. Padahal penanggalan Syamsiah (Gregorian Calendar) baru ditemukan pada abad ke-16 Masehi, atau sekitar sepuluh abad setelah ayat tersebut diturunkan! Yang demikian itu merupakan aktivitas ke-Tuhanan (mukjizat), karena adalah mustahil seorang Muhammad Saw mampu membuat yang demikian.

Masih sangat banyak mukjizat-mukjizat Al-Qur’an, misalnya tentang tenggelam dan selamatnya badan Firaun (Qs. Yunus: 90-92), berita tentang kaum Ad dan Tsamud (Qs. Al-Fajr: 6-9), ihwal reproduksi manusia, pemisahan dua laut dan lain-lain. Perlu berjilid-jilid buku untuk mengupasnya. Bila satu bukti masih meragukan, dan anda anggap sebagai “kebetulan,” maka 2, 3, 4 hingga ratusan bukti tentu akan meyakinkan kita. Karena keimanan yang tinggi tidaklah dicapai lewat paradigma “mendadak iman,” melainkan lewat paradigma “membangun iman”.

Demikianlah Qur’an menjadi fondasi keimanan umat Islam. Satu-satunya "tool" yang mampu menunjukkan eksistensi Tuhan secara nyata ( undebateble ), yang tidak dimiliki peradaban atau agama manapun. Yang oleh karenanya keyakinan akan keberadaan Tuhan, tidaklah dicapai umat Islam melalui renungan-renungan filosofis yang rumit, yang hanya mampu menghasilkan kebenaran rancu dan semu. Sebagaimana perkataan Imam Al-Ghazali, “Banyak jalan menuju Tuhan, dan filsafat adalah jalan yang paling rancu”. Jadi mengapa berfilsafat, kalau kita punya Al-Qur’an?

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar